Belakangan ini, pesantren semakin sering menjadi sorotan publik. Salah satu stasiun televisi nasional, misalnya, menayangkan berita yang menggambarkan figur kyai sebagai sosok kaya raya yang menerima amplop. Bagi sebagian orang, berita seperti ini mungkin sekadar informasi biasa. Tapi bagi banyak pesantren, ini bukan sekadar headline—ini tentang harkat dan martabat.
Dalam kacamata kritis, pemberitaan semacam itu menunjukkan bagaimana media kerap melenceng dari perannya sebagai penyaji fakta. Alih-alih menarasikan kebenaran dengan jernih, ia malah berubah menjadi corong opini yang menggiring persepsi publik secara sepihak.
Noam Chomsky dan Edward S. Herman pernah menulis dalam Manufacturing Consent (1988), bahwa media bukan hanya menyampaikan kabar, tetapi juga membentuk cara kita memahami dunia. Jika logika ini diterapkan pada kasus Pesantren, kita sedang berhadapan bukan sekadar dengan berita, melainkan dengan konstruksi wacana yang punya daya rusak sosial.
Padahal, jika kita mundur sejenak dan menengok akar tradisi pesantren, kyai dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier (1982) bukan sekadar figur keagamaan. Ia adalah poros berdirinya Pesantren. Sosok yang memandang umat dengan kasih sayang—huwa al-ladzi yanzhuru bi-‘aynir-rahmah. Dalam bingkai ini, menuduh kyai sebagai sosok yang “doyan amplop” bukan hanya tuduhan dangkal, tetapi juga pengingkaran terhadap realitas sosial dan kultural yang telah berakar berabad-abad lamanya. Martin van Bruinessen (1995) menyitir bagaimana ketokohan kyai yang bukan sekadar guru agama biasa, melainkan juga pemimpin moral yang menjadi pusat gravitasi kehidupan pesantren.
Pesantren lahir dan tumbuh dari rahim masyarakat. Ia dibangun dari gotong royong dan sebagian besar tidak memiliki akses memadai terhadap sumber daya–tentu saja kapital besar. Di Tengah keterbatasan tersebut, para kyai justru membuka pintu seluas-luasnya bagi santri dari keluarga mustadh’afin, kalangan yang sering luput dari radar pembangunan formal. Di pesantren salaf—pesantren klasik yang masih teguh dengan sistem pengajian kitab kuning—biaya pendidikan sering kali sangat minim, bahkan tidak jarang tanpa pungutan sama sekali. Uang syahriyah (biaya bulanan) yang dikelola para pengurus pesantren dari santri hanya cukup untuk membayarkan listrik, air, makan santri, dan sedikit pemeliharaan bangunan. Tak lebih. Seperti dikatakan Abdurrahman Wahid (1987), Pesantren hidup sebagai subkultur: berdiri di atas solidaritas sosial masyarakat bawah dan semangat saling menopang.
Karena itulah, tak sedikit kyai yang akhirnya harus “nombok” — menutup kekurangan biaya dari kantong pribadi. Sebagian mengelola sawah, membuka usaha kecil, atau bertani, memastikan agar pengelolaan Pesantren berjalan demi menutupi biaya operasional Pesantren. Robert W. Hefner (2000) bahkan menyebut banyak kyai sebagai moral entrepreneur—orang-orang yang menopang keberlangsungan sosial dengan modal kepercayaan, bukan kekayaan. Begitulah mereka menjaga rumah besar bernama Pesantren.
Lalu soal amplop itu—mari bicara apa adanya. Dalam tradisi showan atau kunjungan santri/wali santri kepada kyai, amplop bukan transaksi. Ia merupakan simbol penghormatan, ekspresi terima kasih, kadang bahkan doa yang dilipat dalam selembar kertas. Dalam banyak Pesantren, amplop yang diterima bukan masuk ke saku pribadi kyai, melainkan kembali ke Pesantren. Untuk kas, dapur umum, listrik, atau kegiatan sosial lainnya. M. Dawam Rahardjo (1997) mencatat bahwa sistem ekonomi Pesantren, berpijak pada tradisi demikian, pada dasarnya adalah “ekonomi moral”—ia bergerak berdasarkan amanah, bukan logika akumulasi pribadi.
Maka, menyederhanakan persoalan ini hanya menjadi “kyai menerima amplop” sama saja dengan menutup mata terhadap seluruh lanskap sosial yang mengitari Pesantren. Jürgen Habermas (1984) menyebut, ruang publik yang sehat hanya mungkin tercipta bila media terbebas dari distorsi dan manipulasi. Sayangnya, dalam banyak kasus, media kita justru memilih sensasi alih-alih kejujuran.
Di titik ini, kita berhadapan dengan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar isu amplop. Kita berhadapan dengan persoalan representasi. Pierre Bourdieu (1998) pernah mengingatkan: apa yang terus-menerus diberitakan akan perlahan menjadi “akal sehat bersama”—dan akal sehat itulah yang membentuk cara kita menilai sesuatu. Jika narasi negatif terus direproduksi, lama-lama orang akan percaya bahwa kyai benar-benar seperti itu. Padahal tidak sama sekali.
Pesantren yang selama ini didirikan dan dimiliki Masyarakat bukan sekadar tempat mengaji. Ia adalah ruang hidup—ruang belajar agama, membentuk karakter, membangun solidaritas sosial. Kyai bukan sekadar guru, akan tetapi poros kepercayaan. Clifford Geertz (1960) menyebut kyai sebagai “simbol keteraturan moral” dalam masyarakat santri. Maka menyerang kyai dengan narasi dangkal bukan hanya soal menyerang satu orang, tapi mengguncang fondasi sosial yang menopang pendidikan Islam di Indonesia.
Karena itu, negara, masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas Pesantren perlu lebih aktif melawan narasi bias dengan narasi tandingan yang sehat. Media perlu diingatkan kembali tentang perannya sebagai the fourth estate—penjaga kebenaran, bukan pencipta sensasi. John Dewey (1927) mengatakan: demokrasi lahir dari percakapan. Dan tugas media adalah mendidik publik agar berpikir, bukan sekadar menghakimi.
Akhirnya, menjaga marwah Pesantren bukan sekadar urusan internal Pesantren. Ini soal menjaga salah satu pilar kebangsaan. Kyai dan Pesantren adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan negeri ini. Maka kritik boleh saja, bahkan perlu. Tapi harus proporsional, jujur, dan berbasis data—bukan prasangka.[]
Muhamad Sofi Mubarok (Santri--Dosen UIN Siber Syekhnurjati Cirebon)
Sumber: Kemenag









Tidak ada komentar:
Posting Komentar