Masih ingatkah ungkapan bijak "Buku adalah jendela dunia" ? Ungkapan yang sepanjang saya ingat sudah saya jumpai kala saya masih sangat imut dan sedang lucu-lucunya di bangku Sekolah Dasar (SD) tersebut menurut saya masih sangat relevan di era digital saat ini.
Menurut laman Perpustakaan UIN Buktinggi, ada enam manfaat membaca buku:
- Melatih otak. Membaca buku sangat baik sebagai latihan otak dan pikiran
- Memiliki Tingkat Konsentrasi yang Baik
- Menumbuhkan Kemampuan Menulis
- Memberikan Ketenangan
- Membangun kepercayaan diri
- Meningkatkan kedisiplinan
Lalu seberapa penting nilai perpustakaan bagi Pondok Pesantren? Perpustakaan bukan hanya fasilitas pelengkap, tetapi merupakan komponen penting yang menunjang tujuan utama pendidikan pesantren, yaitu menghasilkan santri yang memiliki kedalaman ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan wawasan umum yang luas.
Dan berikut analisis kritisnya:
- A. Kebutuhan perpustakaan di Pondok Pesantren
Perpustakaan di Ponpes memiliki peran yang jauh lebih krusial dibandingkan sekolah umum karena model pendidikan pesantren yang khas.
1. Landasan filosofis: tradisi keilmuan Islam
a. Logika: Ilmu dalam Islam (terutama ilmu fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf) dibangun di atas naskah-naskah klasik (kitab kuning). Akses langsung dan mandiri terhadap sumber-sumber otentik ini adalah inti dari tradisi belajar di pesantren.
b. Analisis Kritis: Tanpa perpustakaan, santri akan sangat bergantung hanya pada hafalan dan catatan (dikte) dari kiai/ustaz. Hal ini berpotensi membatasi kedalaman pemahaman (tahqiq) dan pengembangan penalaran (istinbat) yang merupakan ciri khas keilmuan pesantren.
2. Penunjang kurikulum: metode Bandongan dan Sorogan
a. Logika: Dalam sistem Bandongan (kiai membaca, santri menyimak), santri perlu memiliki kitab masing-masing. Dalam sistem Sorogan (santri membaca di hadapan kiai), santri juga harus mempelajari materi sebelumnya secara mandiri.
b. Analisis Kritis: Perpustakaan berfungsi sebagai depot buku di mana santri bisa meminjam atau merujuk kitab kuning yang mungkin tidak mampu mereka beli secara pribadi. Ini memastikan bahwa akses terhadap materi pembelajaran tidak terhalang oleh faktor ekonomi.
- B. Fungsi Krusial Perpustakaan
1. Memperluas wawasan dan menghindari fanatisme sempit
a. Logika: Di era informasi, santri perlu membekali diri dengan pengetahuan umum (sains, sejarah, ekonomi, politik) untuk berinteraksi dengan masyarakat modern. Mereka juga perlu membaca pandangan ulama dari berbagai mazhab.
b. Analisis Kritis: Perpustakaan, yang idealnya berisi koleksi kitab klasik dan buku umum modern, memungkinkan santri melakukan perbandingan (muqaranah) dan mengasah kemampuan berpikir kritis. Ini adalah penangkal terhadap sikap fanatisme buta (ta'assub), karena mereka terpapar pada keragaman pendapat (ikhtilaf).
2. Mendorong kemandirian belajar (Self-Learning)
a. Logika: Tujuan akhir pendidikan adalah menciptakan pembelajar seumur hidup. Kemandirian belajar adalah keterampilan fundamental.
b. Analisis Kritis: Perpustakaan adalah satu-satunya tempat di Ponpes yang secara sistematis memfasilitasi penelitian sederhana, pencarian referensi silang, dan membaca di luar silabus. Ini mengubah peran santri dari sekadar penerima ilmu pasif menjadi peneliti aktif yang mampu menggali informasi sendiri, suatu keterampilan yang mutlak diperlukan saat mereka lulus dan berdakwah di masyarakat.
- C. Risiko Tanpa Perpustakaan
Jika Ponpes tidak memiliki perpustakaan yang memadai, risikonya adalah:
1. Kualitas lulusan menurun: Santri menjadi kurang teruji dalam kemampuan menelaah teks secara komprehensif dan hanya mengandalkan ingatan.
2. Kesenjangan ilmu: Santri hanya menguasai ilmu agama tanpa memiliki pemahaman memadai tentang isu-isu kontemporer, menyebabkan kesulitan beradaptasi dengan tantangan sosial-ekonomi masyarakat.
3. Keterbatasan Akses: Hanya santri dari keluarga mampu yang bisa membeli kitab-kitab referensi, menciptakan ketidaksetaraan dalam akses pendidikan di lingkungan pesantren.
- D. Tantangan dan Kritik terhadap Urgensi Perpustakaan
1. Keterbatasan anggaran
Banyak pesantren hidup dari swadaya masyarakat. Prioritas pembangunan sering tertuju pada asrama dan ruang belajar. Karena itu, perpustakaan kerap dianggap “tambahan”, bukan kebutuhan pokok.
2. Rendahnya minat baca santri
Dalam beberapa pesantren, kegiatan harian santri lebih padat dengan:
a. Kegiatan ngaji sorogan,
b. Menghafal,
c. Pesantren kilat,
d. Kegiatan ibadah.
Akibatnya, waktu membaca mandiri sering terbatas. Perpustakaan bisa tidak optimal jika budaya literasi tidak dibangun.
3. Kurangnya Sumber Daya Pengelola
Perpustakaan butuh:
a. Pustakawan (minimal relawan yang terlatih),
b. Sistem katalog,
c. Penataan koleksi,
d. Jadwal kunjungan.
Banyak pesantren belum memiliki SDM yang cukup untuk mengelola perpustakaan secara profesional.
4. Risiko koleksi menganggur
Jika:
a. Koleksi tidak relevan,
b. Perpustakaan tidak nyaman,
c. Aturan tidak jelas,
maka perpustakaan hanya menjadi ruang penuh buku yang tidak dimanfaatkan.
- E. Kesimpulan
Kepemilikan Perpustakaan di Pondok Pesantren adalah suatu keniscayaan, bukan pilihan.
Secara sistematis, ia mendukung kurikulum. Secara logis, ia adalah perpanjangan tangan dari tradisi keilmuan Islam yang berbasis pada teks. Secara kritis, ia berfungsi sebagai laboratorium intelektual yang mendorong santri menjadi cendekiawan Muslim yang mandiri, berwawasan luas, dan siap menghadapi kompleksitas zaman. Perpustakaan menjamin keberlanjutan tradisi keilmuan pesantren sekaligus memfasilitasi integrasi ilmu agama dan ilmu umum.
Berangkat dari pemikiran di atas, sebuah ikhtiar untuk merintis Perpustakaan di Pondok Pesantren Kyai Wali Tanduran Paninggaran Pekalongan pun saya kibarkan bendera start-nya. Dan yang beruntung menjadi koleksi perdananya adalah buku-buku kuliah saya dari semester-semester sebelumnya.
Semoga bermanfaat.
*) Peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Jarak Jauh Tahun 2025 Universitas Islam Negeri Siber Syekhnurjati Cirebon










Tidak ada komentar:
Posting Komentar